Minggu, 07 Februari 2010

Bersabarlah Atas Sikapnya

Dikisahkan bahwa seorang dari pedalaman Arab datang ingin menghadap Umar bin Khattab. Orang itu berharap Umar akan memberikan nasehat dan jalan keluar atas persoalan rumah tangga yang tengah dihadapinya. Ia membawa segudang pengaduan atas perilaku isterinya. Berharap pula Umar sebagai khalifah mau memberi pelajaran kepada isterinya yang dinilainya sudah sangat keterlaluan. Sebagai suami ia merasa sudah tidak punya harga diri. Selalu saja menjadi objek omelan dan tajamnya lidah sang isteri.
Hingga sampai di muka pintu rumah khalifah Umar, pria itu ragu berdiri di depan pintu menunggu Umar keluar sebab ia mendengar istri Umar bersuara keras pada suaminya dan membantahnya sedangkan Umar diam tidak membalas ucapan istrinya.
Pria itu lalu berbalik hendak pergi, sambil berkata, "Jika begini keadaan Umar dengan sifat keras dan tegasnya dan ia seorang amirul mukminin, maka bagaimana dengan keadaanku ?".
Umar keluar dan ia melihat orang itu hendak berbalik dan pergi dari pintu rumahnya seraya memanggil pria itu dan berkata, "Apa keperluanmu wahai pria?"
"Wahai Amirul Mukminin, semula aku datang hendak mengadukan kejelekan akhlak istriku dan sikapnya yang membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka aku pun kembali sambil berkata, "Jika demikian keadaan amirul mukminin bersama istrinya, maka bagaimana dengan keadaanku ?"
Mendengar keluhan pria itu atas dirinya dan apa yang dialaminya sendiri, Umar berkata, "Wahai saudaraku. Sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku.
Dia yang memasakkan makananku, yang membuatkan rotiku, yang mencucikan pakaianku, yang menyusui anak-anaku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya".
Jawaban Umar membuat pria tercenung kemudian berkata : "Wahai Amirul Mukminin, demikian pula istriku".
”Karena itu, Bersabarlah atas sikapnya wahai saudaraku ..."
“Ya Allah jadikan akhlakku pada istriku kelak seperti akhlak Umar bin Khattab pada istrinya…”

Senin, 21 Desember 2009

Permusuhan Sahabat Karib

Alangkah indahnya dunia ini kalau kita punya teman dekat, baik itu teman karib, teman hidup, apalagi teman nasi ^_^. Mereka biasanya orang yang kita curhati ketika kita banyak masalah, mendampingi kita ketika kita kesepian, memberikan kita semangat ketika kita lemah, yang perhatian banget sama diri kita, dll deh. Dan mencari teman yang seperti ini sangat susah. Apalagi di tengah dunia yang sekarang serba materialistis. Tapi taukah kita bahwa sahabat, teman karib, teman hidup yang sekarang kita miliki dan kita merasa nyaman dekat dengannya, nanti di hadapan Allah bisa berbalik memusuhi kita dengan sangat keras bahkan bisa menjatuhkan kita di hadapan Allah? OMG!!!

Allah berfirman :
“Teman-teman akrab pada hari itu (kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. az-Zukhruf (43) : 67)

Bahkan sahabat yang sekarang perhatian banget ke kita (kita sakit sedikit ditanyain, tugas blum selesai dikerjain sm dia, lagi kesepian dia temenin, pokoknya perhatian banget lah,,apalagi orang yang sedang kasmaran,,ehm...ehm...) nanti bisa jadi amat sangat super duper special cuek sekali (lebay pisan), bahkan berlarian menjauhi diri kita. Sebagaimana firman Allah :

“Dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya.” (QS. al-Ma'arij (70) : 10)

Yups, itulah kejadian di hari kiamat dan hari berbangkit. Pada saat itu sahabat karib, teman hidup, dll yang sedang kita ‘adore’ kan kini dapat berbalik memusuhi kita. Kecuali persahabatan, sahabat karib, teman hidup yang didasarkan atas dasar takwa pada Allah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya ttg surat az-Zukhruf : 67, “ayat itu berarti bahwa setiap pertemanan yang tujuannya bukan karena keridhoan Allah maka akan berubah menjadi permusuhan di hari akhir, kecuali orang yang bersahabat karena Allah maka akan bertahan selamanya”. Kenapa kok gitu?

Karena persahabatan, pertemanan, teman hidup, teman karib, dll yang tidak didasarkan pada ketakwaan akan sangat susah untuk membawa kita dekat dengan Allah. Bahkan bisa jadi semakin menjauhi ajaranNya. Bawaannya hura-hura, yang penting kita sama-sama senang, kebutuhan diri akan perhatian terpenuhi, yang penting kau selalu di sisi, dunia serasa milik berdua, makan sepiring berdua (naoon deuih ieu teh ^_^), dll tanpa adanya proses saling ingat mengingatkan ttg keimanan pada Allah. Makanya pertemanan yg seperti ini akan sangat mudah menjauhkan seseorang dari jalan yang lurus. Bahkan bisa jadi seseorang yang dahulunya istiqomah terhadap ajaran agama bisa jadi melenceng karena pertemanan yang modelnya seperti ini.

Sedangkan persahabatan, pertemanan, teman hidup, teman karib, dll yang didasarkan pada taqwa akan selalu saling menasihati tentang kebaikan. Ketika temannya yang lain terlihat mulai melenceng, maka temannya yang lain akan segera berusaha meluruskannya kembali. Karena jannah adalah tujuannya, maka mereka pun saling membantu untuk memperbaiki kekurangan diri. Dengan model pertemanan yang seperti ini justru orang yang kurang istiqomah bisa berubah menjadi orang yang istiqomah.

Oleh karenanya, supaya pertemanan, persahabatan kita dengan teman kita saat ini tidak berubah menjadi permusuhan di hadapan Allah yuk ah kita saling mengingatkan tentang kebaikan dalam dinul Islam ini. Karena sahabat sejati, teman sejati, teman hidup sejati adalah orang yang tidak hanya mengerti tentang diri dan kebutuhan kita, namun juga orang yang bisa saling menguatkan di hadapan mizan Ar-Rahman.

“(Mereka berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)’". (QS. Ali Imran (3) : 8)

Semoga kita menjadi hamba-hambaNya yang senantiasa istiqomah di jalanNya. Amiin

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid (57) : 16)

Selasa, 15 Desember 2009

Teguran Cinta dari Ar Rahman

Seorang ibu yang sangat mencintai anaknya akan dengan telaten memperhatikan anaknya yang sedang belajar berjalan. Ketika sang anak tergopoh gopoh berjalan ke tempat yang berbahaya, maka sang ibu dengan sigap berkata dengan lembut pada sang anak, "Ade jangan ke sana,,itu berbahaya...". Di saat ucapan itu tak didengar oleh sang anak maka sang ibu bergegas menghampirinya dan dengan penuh cinta menggendong sang anak agar terhindar dari bahaya yang mungkin menimpanya. Sang anakpun menangis sekeras-kerasnya. Ia merasa kesenangannya telah di usik oleh sang ibu. Ia tak tahu bahwa sang ibu melakukan itu karena didorong kasih sayang pada sang anak dan karena sang anak tak tahu bahaya yang dapat menimpanya.

Ibarat seorang ibu di atas, begitulah cinta Allah pada hambaNya. Bahkan rasa cinta Allah itu melebihi rasa cinta seorang ibu pada anaknya. Kita sebagai hambaNya yang sangat lemah ibarat seorang anak yang selalu belajar berjalan. Ketika kita kan berjalan ke arah yang membahayakan, maka Allah dengan lembut akan berkata, "Hambaku janganlah kau menempuh jalan itu...". Karena terdorong oleh kesenangan semu, kita seolah tak mendengar seruan lembu dari ar Rahman. Hal ini membuat kita semakin melangkah ke arah kehancuran yang kita tidak ketahui. Namun alangkah cintanya Allah pada kita, sehingga ketika seruan lembut itu tak dihiraukan oleh kita maka Ia pun kan datang dan merangkul kita dengan penuh cinta agar menjauh dari sumber bahaya itu. Sakit, pedih, sesak di dada, beban yang berasa begitu berat, mungkin itu yang terasa oleh kita ketika Allah dengan penuh cinta menarik kita dari hal yang akan membahayakan diri kita. Kita menangis,,merengek,,berseru,,mengapa Ia melakukan itu pada kita...terkadang bertanya dimanakah rasa kasih sayang Allah itu...

Tanpa kita sadari bahwa itu bentuk kasih sayangNya. Dia ingin kita kembali padaNya setelah sekian ribu kelalaian, berjuta kemaksiatan, berpuluh ribu dosa...Namun Ia masih cinta dan mengharap kita kan kembali padaNya. Maka sungguh beruntung orang - orang yang merasakan sakit,,derita,,dan kesusahan setelah semua dosa dan kelalaian yang ia lakukan. Karena itu tanda bahwa Ar Rahman masih cinta pada dirinya, melebihi batas kedalaman cinta....

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah pada Allah dengan sebenar benarnya taubat...mudah-mudahan Allah akan menutupi dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai..." (At-Tahrim : 8)

"...Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang" (Az-Zumar : 53)

Rabbighfirli dzunuubii....

Rabu, 04 Februari 2009

Sebuah Cerita Tentang Bidadari Palestina...

Ini adalah sebuah cerita yang ditulis oleh saudari seiman di Tangerang...:

“Ummi… kenapa aku diberi nama Haura”
“Karena Kami ingin kau menjadi bidadari…”

***

Hari mulai memasuki senja, tapi bagi penduduk kampung Shalahuddin, berjalannya waktu hampir tak ada bedanya bagi kami. Toh tetap saja kami tak dapat menjalani kehidupan seperti kebanyakan orang. Ahh, mungkin inilah keistimewaan bangsa palestina. Diuji dengan kesabaran keimanannya.

Langkah-langkah kecil terdengar bersamaan dengan seruan salam untukku. Ahh, itu pasti bidadari kecilku yang baru pulang menuntut ilmu di madrasah.

“Umm….Assalamu’ alaikum…”

“Wa’alaikumussalam… sudah pulang,Nak?”

“iya…Umm…”

Ahh, bidadariku, ia terlihat sangat riang. Ya, ia memang sangat menyukai saat-saat mengaji dengan Syeikh Azis. Ah, ya, hanya itulah yang dapat menyenangkan hatinya di tengah kehidupan kami yang penuh terror.

“Umm, tau gak, tadi kata Syeikh, umat Islam itu satu tubuh, jadi kalau satu terluka maka yang lainnya akan merasakan sakit….emang bener ya, Umm?”

“Mmm… Iya...”,

“Berarti kalo kita diserang sama tentaraYahudi, umat islam yang lain akan merasa terluka juga ya, Umm?”

Ahh, bidadariku yang cerdas….harus kujawab apa pertanyaanmu. Aku pun tak tahu apakah saudara-saudara kita sesama muslim di belahan bumi yang lain ikut merasakan sakit yang sama saat kita dilukai oleh kaum Yahudi itu.

Ahh, tapi aku tak mau melukai hati bidadari kecilku, “Iya, insya Allah mereka juga ikut merasakan penderitaan kita…”

“Tapi, Umm..mengapa saat abi dan ka Fath ditangkap oleh tentara Yahudi tak ada satupun yang membela mereka, terus waktu rumah kita di Az-Zaitun dihancurkan oleh tank-tank yahudi, mengapa tak ada satupun yang menyalahkan kaum Yahudi itu Umm…?”

Ahh, kesangsian akhirnya keluar juga dari mulut cerdasnya.

“Bahkan, saudara-saudara muslim di sekitar kita pun tak pernah menentang pemboikotan atas kita, padahal mereka melihat kita hidup tak layak, padahal mereka dengan jelas melihat pengusiran dari rumah kita sendiri, padahal mereka melihat kita di sini hidup berkawan dengan penderitaan….”

Ahh, bidadari kecilku, penjajahan ini telah membuat pemikiranmu tak seperti anak yang berusia 8 tahun.

“Dan saat Ka Faris dan teman-temannya diberondong dengan peluru oleh tentara-tentara yahudi itu, tak ada satupun dari saudara-saudara kita yang membela, padahal mereka hanya mengetapel tentara-tentara itu dengan batu, Umm…”

Ahh, bidadari kecilku, kau masih saja mengingat peristiwa itu. Ya, satu persatu anggota keluargaku memang telah Syahid. Suami dan anak pertamaku, ia ditangkap oleh tentara yahudi karena disangka anggota Brigade Izzudin Al-Qassam. Ah, aku tahu itu hanya akal-akalan mereka saja. Karena tujuan mereka yang sebenarnya adalah menghabisi satu persatu warga palestina. Satu minggu setelah penangkapan itu aku mendengar kabar bahwa mereka telah Syahid, semua yang ditangkap disiksa oleh para tentara Yahudi, sampai izroil datang mencabut nyawanya. Anak keduaku, ahh…ia dan teman-temannya memang pantas disebut jundi Illahi. Ia bergabung dengan pemuda-pemuda palestina lainnnya “mengganggu” tentara Israel yang tengah berpatroli di dekat perkampungan kami di Az-Zaitun. Dan ratusan peluru pun mengantarkan mereka syahid menuju surga. Maka di bumi yang diberkahi ini tinggallah aku dan bidadari kecilku.

Dua bening Kristal satu persatu mulai keluar dari mataku…Ahh, cukuplah hanya Allah pelindung dan penolong kami….

Tangan kecil hauraa menyeka bulir air mataku yang jatuh, mulut kecilnya kemudian berucap lagi….”Ohh, Ummi maafkan aku…Pasti kau sedih ya, Umm mengingat peristiwa-peristiwa itu…? Ahh, Umm, sekali lagi maafkan aku….”

Bidadariku, sungguh aku justru bahagia karena kita telah mempunyai tabungan syuhada, karena aku yakin orang-orang yang kita sayangi telah bahagia di sisi Rabbnya. Aku menangis karena aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan padamu. Aku tak tahu mengapa saudara-saudara sesama muslim di sekitar kita seakan-akan menutup mata dengan perjuangan kita….ahh, sungguh aku benar-benar tak tahu….

“Sudah yuk Umm, kita makan….ini tadi aku diberi roti oleh Syeikh Aziz, roti ini yang diselundupkan dari terowongan oleh para pejuang….Alhamdulill ah ya Umm, sekarang kita bisa makan setelah seharian kemarin kita menahan lapar….”

***

Buuumm…..Bummm… .

Ahh, lagi-lagi kembali ada serangan. Tak punya nuranikah mereka menyerang kami bahkan di malam yang telah larut ini.

Aku langsung saja menyambar jilababku, mengambil sebuah tas dan memasukkan sisa roti yang tadi diberikan oleh Syeikh Aziz melalui hauraa. Oh, Hauraa….aku tak menemukan ia berada di sampingku….!! !

“Hauraaa…..Hauraaa… .”

Aku berteriak di tengah dentuman bom yang memekakkan telinga. Ya, kami harus keluar dari rumah jika tak ingin menunggu giliran terkena reruntuhan bom….

“Hauraa…Hauraa… .,dimana kamu , Nak?”, kembali aku memanggil haura.
Dengan tergopoh-gopoh Haura lalu datang dengan memeluk sesuatu….
“Hauraa, ayo lekas kau berkemas….kita harus pergi dari sini…!”

Aku dan Haura pun bergegas keluar dari rumah. Langit gaza yang hitam kini diwarnai oleh semburan kembang api. Ahh, tapi tentu saja itu berasal dari bom curah yang dimuntahkan oleh pesawat-pesawat tempur Yahudi. Ya, akhir-akhir ini mereka menyerang dengan menggunakan bom itu. Bom yang tak mengenal rumah siapa yang dijatuhinya. Tapi, memang semua nyawa penduduk Gaza adalah target mereka. Tak peduli mereka termasuk kelompok Hamas, Jihad Islam, atau warga sipil.

Dentuman demi dentuman terus saja terdengar menemani langkah-langkah kami bersama dengan warga lainnnya. Sejujurnya, kami tak tahu harus lari kemana. Karena lari keperbatasanpun kami akan disambut oleh pengusiran tentara-tentara Yahudi itu.

Setelah agak lama aku dan Haura, juga bersama dengan puluhan warga Gaza berlari tanpa tujuan, akhirnya dentuman-dentuman bom berhenti juga. Entahlah aku tak tahu apakah kami mesti kembali ke kampung kami atau harus mengungsi ke kamp pengungsian. Ahh, tapi ini tanah air kami…. Ini adalah hak kami, maka kami setelah dirasa suasana sudah kembali aman, kami memutuskan untuk kembali ke rumah kami.

Puluhan rumah terlihat hancur dan luluh lantah dengan tanah. Maka, mereka yang rumahnya hancur lalu akan hidup menumpang ke rumah-rumah yang masih dapat ditempati. Di sini, kami memang sudah senasib sepenanggungan. Bahkan orang yang rumahnya masih dapat ditempati dengan senang hati menawarkan tempat tinggal untuk mereka yang rumahnya telah hancur. Dan aku termasuk ke dalam orang-orang yang rumahnya masih “selamat”. Maka sekarang, aku hidup berbagi dengan Ummu Yahya beserta dua orang anaknya, Yahya dan Salma yang umurnya sebaya dengan Haura. Juga berbagi dengan Ummu Ahmad yang sudah sebatang kara.

***

“Haura… kemarin kamu mencari apa sampai-sampai ummi harus berkali-kali memanggilmu?”

Senyum Haura kemudian mengembang. Ia lalu pergi ke belakang mencari tasnya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan memeluk sesuatu.

“Aku mengambil harta yang paling berharga bagiku… Ini Umm…”, tangannya lalu menyerahkan sebuah bingkai foto kepadaku.

Kuraih bingkai foto itu. Foto utuh keluargaku. Foto yang diambil lima tahun yang lalu. Di sana suamiku, Khalid, duduk disampingku. Nampak gagah sekali ia. Fathi dan Faris remaja, yang juga terlihat gagah berdiri di belakang ayahnya, serta Haura yang sedang tertawa yang berada dalam pangkuanku.

“Aku rinduu…, Umm. Aku rindu dengan mereka….”
Kutaruh bingkai itu, lalu langsung saja kudekap haura dengan kedua tanganku. Aku mendekapnya erat. Ahh, Haura aku juga sangat merindukan mereka. Aku terus mendekapnya tanpa bisa berkata-kata. Hanya isak tangis yang keluar dariku. Kudengar juga isakan tangis Haura. Maka, hari itu kami larut dalam kerinduan kami pada orang-orang terkasih. Kami rindu kapankah Allah berkenan memanggil kami agar kami dapat segera berkumpul dengan mereka. Agar kami dapat menyelesaikan semua perniagaan yang telah dijanjikan ini.

***

Setelah satu minggu sejak penyerangan, keadaan kembali normal. Ahh, meskipun aku tak

tahu apakah kehidupan yang kami jalani bisa dikatakan normal. Tapi tiba-tiba dentuman keras kembali terdengar.

Buumm….Bummm….

Asap tebal membumbung tinggi, menutupi langit gaza yang cerah.Maka seketika itu pula langit gaza tertutupi awan kelam. Oh, Rabb….daerah mana lagi yang diserang? Oh, asapnya berada disebelah barat rumahku. Allah… sepertinya berada di dekat madrasah.

Ahh, Hauraku… bukankah ia juga sedang menuntut ilmu di sana?

Hatikupun lalu dihantui rasa kekhawatiran yang luar biasa. Tanpa berpikir lagi aku langsung berlari menuju madrasah. Tak peduli dengan keselamatanku sendiri. Aku hanya ingin tahu apa yang telah dikenai oleh bom laknat Yahudi. Haura… apakah dirimu baik-baik saja…?

“Anakku, berbahaya di sana…”, Paman Abdul berteriak, berusaha menghentikan lanhkahku.

“Sudahlah, ikhlaskan saja, Anakku… tak ada yang tersisa, semua yang berada di sana pasti telah Syahid, karena bangunannya luluh lantah dengan tanah”, kali ini Paman Abdul berhasil menghentikan langkahku.

Aku tak mengerti ucapan paman Abdul, ikhlaskan? Memang apa yang telah diluluhlantahkan oleh Bom Yahudi?

Seakan mengerti suara hatiku paman Abdul kemudian berbicara lagi… Kali ini madrasah yang menjadi sasaran, nampaknya tentara-tentara Yahudi itu sengaja menyerang ke sana karena ingin menghabisi penerus-penerus perjuangan pembebasan Palestina di masa depan.

Mendengar itu seketika saja kakiku lemas. Allah, anak-anak itu…. ? Biadab kalian bangsa Yahudi! Aku tertunduk dan terduduk diikuti dengan isakan tangisku yang keras. Ummu Yahya kemudian datang dan merengkuh tubuhku. Ia memelukku, lalu iapun juga menangis… “Sudahlah Ummu Fath, ini sudah takdir Allah, tidakkah kau harusnya gembira karena semua anggota keluargamu telah syahid di Jalan Illahi….”

Mendengar perkataan Ummu Yahya, tiba-tiba saja hatiku menjadi tegar. Ya, aku bangga, semua anggota keluargaku telah menjemput Syahid, sebentar lagi perniagaan dengan Rabbku pun akan segera selesai.

***

Setelah keadaan dirasa sudah cukup aman, aku segera berlari menuju madrasah tempat haura belajar. Ah, Haura bagaimana keadaanmu sekarang?. Kulihat medrasah yang tadinya berdiri kokoh kini sudah rata dengan tanah. Beberapa orang tengah mengevakuasi korban. Berpuluh jasad-jasad kecil sudah dijejerkan di dekat bangunan yang tidak terkena bom. Ahh, kucari tubuh haura. Tidak, tak ada Haura diantara jasad-jasad kecil yang terjejer di sana. Ahh, Haura, apakah kamu selamat, Nak?

Ummu Yahya datang mendekap jasad Salma, teman sekelas Haura, “Semua hancur, aku khawatir tak ada satupun dari mereka yang selamat?”

Ahh, gadis kecil, wajahnya dipenuhi luka akibat serpihan bom, tangannya mengalami luka bakar yang sangat parah. Lalu Haura, bagaimana keadaanmu Nak?

Aku mengais reruntuhan madrasah itu. Kuangkat batu demi batu yang menimbun jasad-jasad kecil di sana. Setelah cukup lama mengais, aku menemukan sepotong jilbab berwarna hijau. Ahh, bukankah ini milik haura?

***

“Umm, mengapa aku diberi nama Haura?”

Pertanyaan itu kembali terngiang dalam ingatanku.

“Nama itu adalah sebuah doa anakku, maka kami beri kau nama Haura karena kami ingin kau menjadi salah satu bidadari di surgaNya kelak…”

Dan, Allah telah mengabulkan doaku. Maka, tunggulah aku untuk segera menyusul ke SurgaNya. Agar kita dapat berkumpul dan menjalani kebahagiaan abadi di sana.

(Tangerang, 22 Januari 2009, 22:41 WIB

("Teruntuk saudaraku di sana maaf, karena hanya ini yang dapat kupersembahkan".) (Puti Ayu Setiani)

Jumat, 16 Januari 2009

Jejak Islam di Tanah Air


Sejumlah kerajaan islam di Nusantara sejak lama telah menerapkan syariat islam secara kaffah dan syumuliah. AC. Milner mencatat jika kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Banten merupakan dua kerajaan nusantara yang ketat du dalam pelaksanaan hukum Islam. Pada tahun 1651-1681 di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, banten telah memberlakukan hukum potong tangan, kaki kiri, tangan kiri,, dan seterusnya, bagi pencuri senilai 1 gram emas dan kelipatannya.

Yang paling fenomenal, Sultan Iskandar Muda di saat berkuasa dengan penuh keadilan menerapkan hukum rajam bagi puteranya sendiri, Meurah Pupok, yang terbukti berzina dengan istri seorang perwira kerajaan. Hal ini sesuai dengan konstitusi kerajaan Aceh Darussalam 'Qanun Meukuta Alam' yang bersumberkan Quran dan Sunnah. Ketika ditanya mengapa Sultan Iskandar Muda begitu tega memberlakukan rajam hingga mati kepada anaknya sendiri yang notabene putera mahkota, Sultan dengan tegas berkata, "Mate aneuk na jirat, mate adat to tamiha" (mati anak ada makamnya, tetapi jika hukum yang mati, hendak ke mana akan dicari)

Kerajaan islam Mataram sejak Sultan Agung juga telah memberlakukan hukum Qishas yang diambil dari Kitab Qishas. Menurut salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta, alun-alun Yogyakarta di masa lalu merupakan lapangan tempat pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan bagi pezina atau pencuri yang terbukti bersalah setelah melewati proses peradilan yang adil.

Dinar Dirham dan Pengharaman Riba

Mata uang dirham (perak) dan dinar (emas), yang juga disebut sebagai mata uang islam, telah digunakan di dalam wilayah kerajaan-kerajaan islam Nusantara. Tome Pires, dalam "Suma Oriental" menulis jika masyarakat Pasai telah mempergunakan mata uang dari dinar dan dirham (deureuham), juga da yang terbuat dari timah. Aceh memiliki berat 0,57 gram kadar 18 karat dengan diameter 1 cm dengan huruf Arab di kedua sisinya.

Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan mengharamkan riba dalam wilayah kesultanannya. Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Az-Zahir (1297-1326) Aceh telah mengeluarkan dinar emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.

Selain aceh, pengharaman riba juga telah ada di kerajaan-kerajaan islam Nusantara lainnya. Penggunaan mata uang kertas (Fiat Money) secara massif menggantikan dinar-dirham dimulai sejak hancurnya kekhalifahan Islam Turki Utsmani di abad ke-20.

Pustaka :
1. M. Sunanto; Sejarah Peradaban Islam Indonesia; Rajaali Press, 2005;
2. A. Hasjmy; 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu; Bulan Bintang,
3. Eramuslim Digest; The Untold History: Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia (Pra Islam hingga abad 19); Edisi 9

Senin, 12 Januari 2009

Algae : Fuel and CO2 Sequestration


A brief explanation about algae utilization to produce vegetable oils, fuels, and to sequester carbon dioxide at the same time, by Glen Kertz, the CEO of Valcent Products USA.

All we have is a closed-loop photo bio-reactor. Our goal is to produce the greatest amount of biomass from algae that we can. By going vertical we believe that we can increase the yield by increasing the surface area and the volume of material getting exposed to sunlight. We have a system that continually recycles, it’s a dynamic system, in a closed-loop.

Algae goes down, starts out of a tank, gets picked up by pumps, goes up into the reactors, and then gravity heights control, lose it to the reactors, get exposed to sunlight, go back into the tank, and the cycle repeated over and over again. Algae is the fastest organism, fastest growing plant on the planet. And it sequesters the greatest amount of carbon dioxide, but in the same time, it produces lipids, basically vegetable oils, and a lot of it. So, if you look at a single-cell of algae in the right species, as much as 50% of its body weight is high-grade vegetable oil. So while we are sequestering carbon dioxide, we are also producing these high-grade lipids that can be used for a variety of purposes.

The beauty of the algae is the fact that we can actually be selective about what carbon chains are coming out of it. So for example, if you want to make jet fuel, we could give you a strain of algae that’s going to make the carbon chains necessary to manufacture jet fuel much more efficiently that you can in the other crop. If you want to make diesel for a truck, we can give you the carbon chains that are ideal for that. We can tailor the lipids based on the species of algae that we are growing.

If I grow an acre of corn and I’m looking at it from the stand point of producing oil, I can grow about 18 gallons of oil per acre per year. Moving up to the most prevalent, palm, we can get 7,800 gallons per acre per year; algae can go up to 20,000 gallons of oil per acre per year. And that’s just from the open-surface system, and not from the closed bio-reactor system.

The problem with the open-surface system is that one: once the algae starts growing, light will only penetrate about an inch or an inch and a half to the surface; it blocks light from the rest of the surface. We also have an enormous amount of water evaporation so we’re losing enormous amount of water that causing us to replace. And third most critical thing to us, we get contaminants from other algae species that flowed from the atmosphere and landed there and become competitive with the algae that we want to grow.

We would try to recapture every drop of water that we can. And the only water we lose is what actually bound up in the algae and goes into the oil itself and the byproduct from the algae. And once we’ve extracted the oil, we can even use the byproduct for feedstock, for sour remediation to make fertilizer, or we can ferment it and produce ethanol out of that.

If we took one-tenth of the State of New Mexico and convert it to algae production, we could meet all the energy demands for the entire United States.



From : http://majarimagazine.com/2008/12/algae-fuels-and-co2-sequestration/

Pemilu, Sebuah Ironi...

Pemilu 2009 mungkin merupakan pemilu yang sedikit berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu kali ini rakyat dapat memilih langsung wakil yang diinginkan untuk duduk di kursi panas senayan. Maka tak pelak lagi kita lihat berjamurnya poster-poster dan baligho-baligho para caleg mengotori berbagai sudut kota. Satu dengan lainnya saling meng-klaim bahwa merekalah orang-orang yang paling dekat dengan rakyat dan paling peduli dengan mereka. Padahal sebagian besar rakyat baru melihat muka dan mengetahui nama orang tersebut di poster!!! Sungguh sangat ironi sekali.

Sebuah pemikiran kemudian muncul di benak saya jika melihat poster para caleg ini. Jika memang mereka dekat dan peduli dengan rakyat, seharusnya mereka tidak perlu terlalu banyak membuang uang untuk berkampanye dan memasang poster. Toh rakyat akan mengerti dan mengenali siapa yang dekat dengan mereka. Bukan seperti saat ini, rakyat memilih orang yang bahkan baru dikenalnya. Apakah ini yag dinamakan demokrasi??

Hal yang sama juga selalu menggelitik hati saya jika melihat para mantan capres, ataupun mantan presiden, bahkan calon incumben sendiri ketika mereka berkampanye. Sungguh ketika pemimpin atau mantan pemimpin berkampanye agar orang-orang memilihnya, maka pada saat itu pula ia menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia bukan pemimpin yang baik!!! Bagaimana tidak, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai dan diharapkan untuk memimpin kembali oleh rakyatnya. Rakyat akan memilihnya tanpa ia harus berlelah-lelah berkampanye karena rakyat sudah dapat merasakan hasil kepemimpinannya. Sehingga seharusnya para mantan dan pemimpin incumben itu merefleksi dirinya sendiri dan bukan malah sibuk menggalang dukungan dan membuang uang untuk menaikkan pamor dirinya. Karena mereka jika seperti itu bukanlah pemimpin yang baik.

Seharusnya para pemimpin dan mantan pemimpin ini bercermin dari mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela. Ketika habis masa pemerintahannya maka rakyatpun secara aklamasi memintanya untuk naik kembali menjadi pemimpin mereka. Namun, memang karena kelapangan dadanya lah dia akhirnya menolak untuk dicalonkan kembali dan dengan sangat legowo mempersilakan kepada generasi muda di negaranya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Sehingga wajarlah jika sampai sekarang namanya tetap harum dan disegani para pemimpin di dunia.

Lalu bagaimana dengan wajah negara kita? Maka sebait kata-kata seorang penyairpun terlintas di benak saya…”Malu aku jadi orang Indonesia…”