Jumat, 16 Januari 2009

Jejak Islam di Tanah Air


Sejumlah kerajaan islam di Nusantara sejak lama telah menerapkan syariat islam secara kaffah dan syumuliah. AC. Milner mencatat jika kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Banten merupakan dua kerajaan nusantara yang ketat du dalam pelaksanaan hukum Islam. Pada tahun 1651-1681 di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, banten telah memberlakukan hukum potong tangan, kaki kiri, tangan kiri,, dan seterusnya, bagi pencuri senilai 1 gram emas dan kelipatannya.

Yang paling fenomenal, Sultan Iskandar Muda di saat berkuasa dengan penuh keadilan menerapkan hukum rajam bagi puteranya sendiri, Meurah Pupok, yang terbukti berzina dengan istri seorang perwira kerajaan. Hal ini sesuai dengan konstitusi kerajaan Aceh Darussalam 'Qanun Meukuta Alam' yang bersumberkan Quran dan Sunnah. Ketika ditanya mengapa Sultan Iskandar Muda begitu tega memberlakukan rajam hingga mati kepada anaknya sendiri yang notabene putera mahkota, Sultan dengan tegas berkata, "Mate aneuk na jirat, mate adat to tamiha" (mati anak ada makamnya, tetapi jika hukum yang mati, hendak ke mana akan dicari)

Kerajaan islam Mataram sejak Sultan Agung juga telah memberlakukan hukum Qishas yang diambil dari Kitab Qishas. Menurut salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta, alun-alun Yogyakarta di masa lalu merupakan lapangan tempat pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan bagi pezina atau pencuri yang terbukti bersalah setelah melewati proses peradilan yang adil.

Dinar Dirham dan Pengharaman Riba

Mata uang dirham (perak) dan dinar (emas), yang juga disebut sebagai mata uang islam, telah digunakan di dalam wilayah kerajaan-kerajaan islam Nusantara. Tome Pires, dalam "Suma Oriental" menulis jika masyarakat Pasai telah mempergunakan mata uang dari dinar dan dirham (deureuham), juga da yang terbuat dari timah. Aceh memiliki berat 0,57 gram kadar 18 karat dengan diameter 1 cm dengan huruf Arab di kedua sisinya.

Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan mengharamkan riba dalam wilayah kesultanannya. Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Az-Zahir (1297-1326) Aceh telah mengeluarkan dinar emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.

Selain aceh, pengharaman riba juga telah ada di kerajaan-kerajaan islam Nusantara lainnya. Penggunaan mata uang kertas (Fiat Money) secara massif menggantikan dinar-dirham dimulai sejak hancurnya kekhalifahan Islam Turki Utsmani di abad ke-20.

Pustaka :
1. M. Sunanto; Sejarah Peradaban Islam Indonesia; Rajaali Press, 2005;
2. A. Hasjmy; 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu; Bulan Bintang,
3. Eramuslim Digest; The Untold History: Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia (Pra Islam hingga abad 19); Edisi 9

Senin, 12 Januari 2009

Algae : Fuel and CO2 Sequestration


A brief explanation about algae utilization to produce vegetable oils, fuels, and to sequester carbon dioxide at the same time, by Glen Kertz, the CEO of Valcent Products USA.

All we have is a closed-loop photo bio-reactor. Our goal is to produce the greatest amount of biomass from algae that we can. By going vertical we believe that we can increase the yield by increasing the surface area and the volume of material getting exposed to sunlight. We have a system that continually recycles, it’s a dynamic system, in a closed-loop.

Algae goes down, starts out of a tank, gets picked up by pumps, goes up into the reactors, and then gravity heights control, lose it to the reactors, get exposed to sunlight, go back into the tank, and the cycle repeated over and over again. Algae is the fastest organism, fastest growing plant on the planet. And it sequesters the greatest amount of carbon dioxide, but in the same time, it produces lipids, basically vegetable oils, and a lot of it. So, if you look at a single-cell of algae in the right species, as much as 50% of its body weight is high-grade vegetable oil. So while we are sequestering carbon dioxide, we are also producing these high-grade lipids that can be used for a variety of purposes.

The beauty of the algae is the fact that we can actually be selective about what carbon chains are coming out of it. So for example, if you want to make jet fuel, we could give you a strain of algae that’s going to make the carbon chains necessary to manufacture jet fuel much more efficiently that you can in the other crop. If you want to make diesel for a truck, we can give you the carbon chains that are ideal for that. We can tailor the lipids based on the species of algae that we are growing.

If I grow an acre of corn and I’m looking at it from the stand point of producing oil, I can grow about 18 gallons of oil per acre per year. Moving up to the most prevalent, palm, we can get 7,800 gallons per acre per year; algae can go up to 20,000 gallons of oil per acre per year. And that’s just from the open-surface system, and not from the closed bio-reactor system.

The problem with the open-surface system is that one: once the algae starts growing, light will only penetrate about an inch or an inch and a half to the surface; it blocks light from the rest of the surface. We also have an enormous amount of water evaporation so we’re losing enormous amount of water that causing us to replace. And third most critical thing to us, we get contaminants from other algae species that flowed from the atmosphere and landed there and become competitive with the algae that we want to grow.

We would try to recapture every drop of water that we can. And the only water we lose is what actually bound up in the algae and goes into the oil itself and the byproduct from the algae. And once we’ve extracted the oil, we can even use the byproduct for feedstock, for sour remediation to make fertilizer, or we can ferment it and produce ethanol out of that.

If we took one-tenth of the State of New Mexico and convert it to algae production, we could meet all the energy demands for the entire United States.



From : http://majarimagazine.com/2008/12/algae-fuels-and-co2-sequestration/

Pemilu, Sebuah Ironi...

Pemilu 2009 mungkin merupakan pemilu yang sedikit berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu kali ini rakyat dapat memilih langsung wakil yang diinginkan untuk duduk di kursi panas senayan. Maka tak pelak lagi kita lihat berjamurnya poster-poster dan baligho-baligho para caleg mengotori berbagai sudut kota. Satu dengan lainnya saling meng-klaim bahwa merekalah orang-orang yang paling dekat dengan rakyat dan paling peduli dengan mereka. Padahal sebagian besar rakyat baru melihat muka dan mengetahui nama orang tersebut di poster!!! Sungguh sangat ironi sekali.

Sebuah pemikiran kemudian muncul di benak saya jika melihat poster para caleg ini. Jika memang mereka dekat dan peduli dengan rakyat, seharusnya mereka tidak perlu terlalu banyak membuang uang untuk berkampanye dan memasang poster. Toh rakyat akan mengerti dan mengenali siapa yang dekat dengan mereka. Bukan seperti saat ini, rakyat memilih orang yang bahkan baru dikenalnya. Apakah ini yag dinamakan demokrasi??

Hal yang sama juga selalu menggelitik hati saya jika melihat para mantan capres, ataupun mantan presiden, bahkan calon incumben sendiri ketika mereka berkampanye. Sungguh ketika pemimpin atau mantan pemimpin berkampanye agar orang-orang memilihnya, maka pada saat itu pula ia menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia bukan pemimpin yang baik!!! Bagaimana tidak, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai dan diharapkan untuk memimpin kembali oleh rakyatnya. Rakyat akan memilihnya tanpa ia harus berlelah-lelah berkampanye karena rakyat sudah dapat merasakan hasil kepemimpinannya. Sehingga seharusnya para mantan dan pemimpin incumben itu merefleksi dirinya sendiri dan bukan malah sibuk menggalang dukungan dan membuang uang untuk menaikkan pamor dirinya. Karena mereka jika seperti itu bukanlah pemimpin yang baik.

Seharusnya para pemimpin dan mantan pemimpin ini bercermin dari mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela. Ketika habis masa pemerintahannya maka rakyatpun secara aklamasi memintanya untuk naik kembali menjadi pemimpin mereka. Namun, memang karena kelapangan dadanya lah dia akhirnya menolak untuk dicalonkan kembali dan dengan sangat legowo mempersilakan kepada generasi muda di negaranya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Sehingga wajarlah jika sampai sekarang namanya tetap harum dan disegani para pemimpin di dunia.

Lalu bagaimana dengan wajah negara kita? Maka sebait kata-kata seorang penyairpun terlintas di benak saya…”Malu aku jadi orang Indonesia…”

Sabtu, 10 Januari 2009

Ikhwan Sejati

Seorang remaja pria bertanya
pada ibunya,”
Ibu ceritakan padaku tentang ikhwan sejati?". Sang
ibu tersenyum dan menjawab:

Ikhwan sejati bukan dilihat
dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya.

Ikhwan sejati bukan dilihat
dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya dalam menyampaikan
kebenaran.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada
generasi muda bangsa.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerja, tetapi bagaimana dia
dihormati di dalam rumah.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada di balik itu.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi dari komitmennya terhadap
akhwat yang dicintainya.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menjalani
lika-liku kehidupan.

Ikhwan sejati bukanlah
dilihat dari kerasnya dia membaca Al-Qur’ an, tetapi dari konsistennya dia
menjalankan apa yang dia baca.”

Setelah itu ia kembali
bertanya “Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu, ibu?”

Sang ibu memberinya buku dan
berkata, “
Pelajari tentang dia!

Ia pun mengambil buku itu ” M U H A M M A D“ judul yang tertulis di buku itu.

Dikutip dari majalah percikan iman

Di Sisinya Selalu Ada Cinta

Pagi yang cerah di musim semi selalu membuatku bergairah menapakkan kaki di aspal hitam yang masih tampak basah. Merentas jeruji cahaya mentari yang masih malu menembus putihnya awan, bertemankan canda mesra kupu-kupu beraneka warna dan bunga-bunga sakura yang merekah, dan ketenangan aliran air sungai Ono yang menentramkan jiwa. Megahnya simfoni alam yang melantunkan senandung tasbih dan tahmid dari tetesan sisa-sisa embun di tanah, seakan menambah pesona pagi kota Ooita yang indah.

Di jalan yang terletak di bantaran sungai juga tampak banyak orang yang dengan penuh semangat berolah raga. Ada yang hanya berjalan santai menghirup udara segar, ada yang berlari-lari kecil dan tak sedikit yang terlihat menuntun anjingnya yang bergerak lincah kesana kemari, dan ada juga yang bermain bola di pinggir sungai dengan riangnya. Wajah-wajah mereka terlihat segar dielus lembut sinar mentari pagi musim semi, padahal beberapa di antaranya tampak tidak lagi berusia muda, terlihat dari guratan-guratan keriput di wajah.

Tampak dari kejauhan dua sosok manusia berjalan ke arahku, "Selalu mereka," aku bergumam dalam hati. Semakin dekat, semakin terdengar nafas yang terengah-engah dan terlihat simbahan peluh yang mengucur membasahi sekujur tubuh mereka.

"Ohayou gozaimasu," (Selamat pagi) sapa obasan (bibi,sapaan untuk perempuan paruh baya) itu ramah seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.

Di sampingnya, anak lelaki yang berkepala besar dan berperawakan pendek itu juga terdengar menyapa, namun dengan suara tak jelas. Terlihat dari raut wajahnya ia berbeda dengan anak yang umurnya sebaya. Wajah itu berhiaskan mata yang sipit dan turun, dagu yang kecil membuat lidah terlihat menonjol keluar serta lebar tengkorak tampak pendek di kepalanya yang dicukur botak.

Sesekali tangan lebar dengan jari-jari pendek itu susah payah menyeka wajahnya dengan handuk kecil, tampak koordinasi gerakan tangannya lemah sekali. Tak jarang obachan di sebelahnya ikut membantu, dihapusnya cucuran keringat anak lelaki itu dengan kasih sayang, penuh selaksa cinta yang terpancar jelas dari binar matanya. Seketika, mata anak lelaki yang sering menatap kosong itu pun terlihat senang.

"Kono ko wa uchi no musuko desu,"( Ini anak laki-laki saya) katanya terdengar jelas dan bangga, seakan tahu pertanyaan yang menyergap di benakku. Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala dan tak berkata apa-apa. Seiring langkah mereka yang semakin menjauh, kutatap kepergian obachan dan anak lelaki yang berjalan goyah itu dengan perasaan
berkecamuk menjadi satu. Pikiranku lalu menerawang, menembus lorong ruang dan waktu. Melayang, meninggalkan sosok tubuhku yang masih berdiri tak bergeming, takjub dengan sebuah keajaiban cinta.

Cinta seorang ibunda kepada anak-anaknya memang membuat kita selalu terpesona. Jikalau kasih seorang anak adalah sepanjang galah, kasih ibunda tentu sepanjang jalan. Bahkan andaikan kasih anak itu sepanjang jalan, maka kasih ibunda adalah sepanjang masa.

Obasan itu pasti tak pernah tahu bahwa ada surga di telapak kakinya, sehingga ia merasa perlakuannya biasa-biasa saja. Namun bagiku, ia adalah seorang wanita istimewa yang di sisinya selalu ada cinta, karena amanah berupa seorang anak yang cacat mental hanya dianugerahkan kepada wanita-wanita istimewa.

Ooita, 2003

Jumat, 09 Januari 2009

Boikot Produk Israel Solusi Cerdas?


"Boikot Produk Israel.....!!!", Boikot Produk Amerika....!"


Teriakan-teriakan itu begitu akrab di telinga saya akhir-akhir ini. Maklum para demonstran yang meneriakkan slogan-slogan anti israel dan Amerika sangan marak. Terlebih ketika serangan Zionis Israel (semoga Allah membalasnya) ke jalur Gaza semakin intens. Di satu sisi, teriakan-teriakan para demonstran itu dapat membuat sebuah dukungan moral bagi saudara-saudara kita di palestina. Pertanyaannya adalah apakah tindakan memboikot produk-produk tersebut memang merupakan sebuah solusi cerdas??

Hal ini terus menyeruak di benak saya. Apakah sudah tepat tindakan kita yang memboikot produk mereka, bahkan sampai menutup restoran-restoran cepat saji yang katanya berafiliasi pada Amerika dan Israel?

Boikot pada jangka pendek memang sepertinya efektif dalam membuat sebuah tekanan pada pihak yang diboikot. Namun, hal ini pada jangka panjang justru dapat membuat kesulitan pada bangsa kita sendiri. Betapa tidak, hampir seratus persen para pekerja di perusahaan-perusahaan tersebut adalah anak bangsa. Dan jika sampai perusahaan tersebut memindahkan investasinya keluar dari Indonesia sudah dapat dibayangkan berapa juta orang yang akan terkena PHK. Selain itu dalam jangka panjang hal ini juga dapat menyebabkan iklim investasi di Indonesia menjadi tidak kondusif yang barang tentu akan membuat kesulitan pemerintah mengingat sebagian besar roda perekonomian di negeri ini digerakkan karena investasi asing.

Sehingga hemat saya, boikot mungkin akan memberikan efek jera pada negara-negara tersebut namun efek tersebut hanya berupa 'efek kejut' saja. Seharusnya kita mulai berfikir sebuah langkah cerdas dan strategis, yaitu dengan mengembangkan perusahaan tandingan sejenis dengan berbasis sumber daya lokal yang independen dari pengaruh asing. Sehingga ketika negara-negara tersebut berbuat macam-macam kita telah memiliki sebuah bargain position yang kuat. Di sisi lain hal ini juga akan semakin memantapkan fondasi perekonomian menjadi berdiri di atas kaki sendiri.

Namun hal ini juga perlu ditunjang oleh perubahan sikap dan mental masyarakat di negeri ini. Betapa tidak, seorang sarjana teknik dari sebuah universitas ternama akan merasa malu ketika dia ditanya, "sudah kerja di mana?" sedangkan dia menjawab, "saya membuka bisnis sendiri". Dan memang paradigma yang ada di tengah masyarakat selalu begitu. Seseorang yang membuka sebuah lapangan perkerjaan untuk orang lain dianggap tidak memiliki masa depan yang cerah karena bisnis penuh dengan ketidakpastian dan tantangan. Padahal bukankah kehidupan semua orang seperti itu? Jika paradigma ini dapat diubah di masyarakat, maka dalam beberapa tahun mendatang akan banyak entrepreneur-entrepreneur muda di negeri ini.

Jika hal ini telah terjadi, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan memiliki bargain position yang kuat di tengah pergaulan internasional. Sehingga kita tidak hanya bisa berteriak di jalan raya sedangkan mereka terus membunuh saudara-saudara kita dengan peluru-peluru yang ikut kita sumbangkan....

(Sebuah unek2 yang mudah-mudahan bisa menjadi sebuah inspirasi)