Sabtu, 10 Januari 2009

Di Sisinya Selalu Ada Cinta

Pagi yang cerah di musim semi selalu membuatku bergairah menapakkan kaki di aspal hitam yang masih tampak basah. Merentas jeruji cahaya mentari yang masih malu menembus putihnya awan, bertemankan canda mesra kupu-kupu beraneka warna dan bunga-bunga sakura yang merekah, dan ketenangan aliran air sungai Ono yang menentramkan jiwa. Megahnya simfoni alam yang melantunkan senandung tasbih dan tahmid dari tetesan sisa-sisa embun di tanah, seakan menambah pesona pagi kota Ooita yang indah.

Di jalan yang terletak di bantaran sungai juga tampak banyak orang yang dengan penuh semangat berolah raga. Ada yang hanya berjalan santai menghirup udara segar, ada yang berlari-lari kecil dan tak sedikit yang terlihat menuntun anjingnya yang bergerak lincah kesana kemari, dan ada juga yang bermain bola di pinggir sungai dengan riangnya. Wajah-wajah mereka terlihat segar dielus lembut sinar mentari pagi musim semi, padahal beberapa di antaranya tampak tidak lagi berusia muda, terlihat dari guratan-guratan keriput di wajah.

Tampak dari kejauhan dua sosok manusia berjalan ke arahku, "Selalu mereka," aku bergumam dalam hati. Semakin dekat, semakin terdengar nafas yang terengah-engah dan terlihat simbahan peluh yang mengucur membasahi sekujur tubuh mereka.

"Ohayou gozaimasu," (Selamat pagi) sapa obasan (bibi,sapaan untuk perempuan paruh baya) itu ramah seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.

Di sampingnya, anak lelaki yang berkepala besar dan berperawakan pendek itu juga terdengar menyapa, namun dengan suara tak jelas. Terlihat dari raut wajahnya ia berbeda dengan anak yang umurnya sebaya. Wajah itu berhiaskan mata yang sipit dan turun, dagu yang kecil membuat lidah terlihat menonjol keluar serta lebar tengkorak tampak pendek di kepalanya yang dicukur botak.

Sesekali tangan lebar dengan jari-jari pendek itu susah payah menyeka wajahnya dengan handuk kecil, tampak koordinasi gerakan tangannya lemah sekali. Tak jarang obachan di sebelahnya ikut membantu, dihapusnya cucuran keringat anak lelaki itu dengan kasih sayang, penuh selaksa cinta yang terpancar jelas dari binar matanya. Seketika, mata anak lelaki yang sering menatap kosong itu pun terlihat senang.

"Kono ko wa uchi no musuko desu,"( Ini anak laki-laki saya) katanya terdengar jelas dan bangga, seakan tahu pertanyaan yang menyergap di benakku. Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala dan tak berkata apa-apa. Seiring langkah mereka yang semakin menjauh, kutatap kepergian obachan dan anak lelaki yang berjalan goyah itu dengan perasaan
berkecamuk menjadi satu. Pikiranku lalu menerawang, menembus lorong ruang dan waktu. Melayang, meninggalkan sosok tubuhku yang masih berdiri tak bergeming, takjub dengan sebuah keajaiban cinta.

Cinta seorang ibunda kepada anak-anaknya memang membuat kita selalu terpesona. Jikalau kasih seorang anak adalah sepanjang galah, kasih ibunda tentu sepanjang jalan. Bahkan andaikan kasih anak itu sepanjang jalan, maka kasih ibunda adalah sepanjang masa.

Obasan itu pasti tak pernah tahu bahwa ada surga di telapak kakinya, sehingga ia merasa perlakuannya biasa-biasa saja. Namun bagiku, ia adalah seorang wanita istimewa yang di sisinya selalu ada cinta, karena amanah berupa seorang anak yang cacat mental hanya dianugerahkan kepada wanita-wanita istimewa.

Ooita, 2003

2 komentar:

Anonim mengatakan...

seorang anak cacat mental hny di karuniakan pd wanita istimewa???

saya br tw tu akhi...

yg sy tw dipercaya Tuhan utk mjd seorang "ibu"...tu merupakan keistimewaan tersendiri,

Ibu...

seorang yg berkatx lah sy bs spt sekarang..

seorang yg begitu ingin sy bahagiakan..

dan sy percaya,disisinya selalu ada cinta..

Hikari's Blog mengatakan...

Subhanallah.. betapa memang ketegaran para Ibu tiada duanya ya..